Sakura Pertama
Ditulis dalam Uncategorized
77 Tahun Pemberontakan di atas kapal Zeven Provincien
Surabaya, 4 Februari 1933. Ini merupakan puncak dari sebuah unjuk rasa besar para pelaut Indonesia terhadap Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Melalui seorang marconis (petugas radio) berita itu disampaikan kepada semua pelaut yang bertugas di luar Surabaya.
Telegram itu sampai juga di atas Kapal Perang De Zeven Provincien yang sedang melakukan patroli di sebelah barat Aceh. Dari kamar marconis, telegram itu dibocorkan seorang kelasi Belanda Moud Boshart kepada para pelaut Indonesia. Peristiwa berdarah itu kemudian memengaruhi kebijakan politik Kerajaan Belanda terhadap jajahannya, Hindia Belanda, sedangkan Gubernur Hindia Belanda De Jonge mengeluarkan UU yang kemudian dikenal sebagai Hatzai Artikelen (yang kemudian dipakai juga oleh rezim Soeharto).
Setelah 77 tahun berlalu, peringatan Pemberontakan Kapal Tujuh atau yang juga dikenal sebagai De Zeven Provincien Affair tidak pernah dilakukan secara resmi. Oleh karena itu, generasi sekarang sangat asing dengan peristiwa heroik itu, karena jenjang waktu yang sangat panjang dan tidak tertulis dalam sejarah Indonesia. Padahal, ketika Taman Makam Pahlawan Kalibata baru jadi dan masih kosong, Presiden Soekarno memerintahkan untuk mengisi TMP itu dengan kerangka para pejuang yang tewas dalam peristiwa itu, dipindahkan dari Pulau Kelor di Kepulauan Seribu.
Pemberontakan itu oleh pers Amerika dilukiskan sebagai pertama kali terjadi di dunia, di mana marinir (anggota Angkatan Laut) pribumi di sebuah kapal perang kolonial mengambil alih sebuah kapal perang. Kelasi-kelasi Indonesia yang berada dalam tubuh Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang selalu dipandang rendah, tiba-tiba memberontak. Dengan gagahnya, sebagaimana ditulis Moud Boshart, kelasi Belanda yang berpihak pada para pemberontak: tanpa mengikuti sekolah pelayaran, kelasi Martin Paradja mengambil alih pimpinan dalam pelayaran membangkang, yaitu “Kembali ke Surabaya”. Paradja sebelumnya tidak pernah mengikuti sekolah pelayaran. Akan tetapi, lelaki yang lahir dalam deburan ombak Laut Sawu itu dengan percaya diri memimpin teman-temannya kembali ke Surabaya untuk mendukung gerakan mogok yang dilakukan para marinir di sana.
Para kelasi Indonesia berhasil melumpuhkan para perwira Belanda mengambil alih kapal itu dari para opsir Belanda. Kelasi Paradja bertindak memegang komando, Kelasi kelas satu Kawilarang yang punya pengalaman di Eropa berfungsi sebagai navigator. Kelasi Rumambi berada di bagian komunikasi telepon, Hendrik sebagai pengatur bahan bakar, dan Kopral Gosal yang mengurusi bagian kesehatan.
Moud Boshart dalam majalah De Ulienspiegel edisi 3 Februari 1963, sebagaimana dikutip dalam Surat Pembaca nomor 3 Komisi Indonesia CPN: “Saya merasa jenuh, karena semalaman tidak bisa tidur. Keesokan harinya Komandan dengan sia-sia mencoba berunding dan mengambil hati pelaut Indonesia yang kini menjadi majikan di kapal perang Belanda itu.”
Solidaritas
Pemberontakan Kapal Tujuh itu terjadi karena rasa nasionalisme yang mulai menjalar ke tubuh anggota marinir pribumi dalam korps Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Rasa penghinaan yang lama dirasakan karena adanya perbedaan perlakukan di antara para kelasi Belanda dan pribumi sangat mencolok. Ratusan pelaut di Surabaya melakukan pemogokan tanggal 3 Februari 1933 untuk memprotes keputusan penurunan gaji pegawai pemerintah Hindia Belanda sebesar 17%, yang diumumkan pada tanggal 1 Januari 1933.
Tanggal 5 Februari, awak pribumi di Kapal Zeven Provincien yang sedang melakukan pelayaran dinas dan patroli di wilayah barat Sumatera menyatakan solidaritas dengan gerakan rekan-rekan mereka di Surabaya. Ketika itu, suasana politik sedang menghangat. Di Eropa, Hitler bersiap mengambil alih pimpinan, dan gerakannya menakutkan tetangga-tetangganya, termasuk Belanda. Sementara itu, di Hindia Belanda sejak 1926 banyak terjadi pemberontakan hebat yang menentang kekuasaan pemerintahan Belanda. Ditangkapnya kembali Bung Karno yang sudah menjadi ikon pergerakan malah menambah berkobarnya semangat nasionalisme.
Pemogokan marinir dimulai di Surabaya, dan para pelaut di Kapal Tujuh mengirimkan telegram mendukung: “lanjutkan aksimu”. Suasana di kapal pun menjadi sangat panas. Para anggota marinir pribumi sudah bertekad akan berjuang sampai titik darah terakhir. Untuk menenangkan situasi para perwira Belanda malah membuat blunder. Mereka mengadakan pesta di kantin KNIL di Uleelheue, Aceh, dengan membuang duit sebesar 500 gulden, dan menyediakan nona-nona Belanda untuk berdansa dengan para pelaut pribumi. Tetapi pelaut Indonesia menolak hadir.
Malam harinya, tiba-tiba seorang letnan yang berpesta di darat memerintahkan Boshart membawanya pulang ke kapal. Ternyata perwira jaga di kapal sudah tewas. M Sapiya dalam bukunya, Pemberontakan Kapal Tujuh, mengisahkan bahwa ia dibantai Martin Paradja di tangga kapal. Kapal sudah dikuasai marinir Indonesia yang bersenjata. Meriam sudah terisi, lampu sein dicopot. Martin Paradja dan Gosal memberi perintah. Raut wajah para marinir Indonesia yang bersenjata terlihat sangat keras, tulis Moud Boshart. Seorang perwira, Baron De Vos van Steenwijk, yang semula masih mencoba menguasai ruang marconis, kemudian mundur dan meletakkan senjatanya.
Awalnya, pemberontakan direncanakan pukul satu dini hari. Akan tetapi, siang hari tanggal 6 Februari 1933, Martin Paradja tertangkap basah ketika dia membongkar gudang amunisi. Ketika menghadap opsir Paradja ia hanya mengenakan jins pendek dan kaus belel. Opsir itu membentak marah. Paradja dianggap tidak sopan. Paradja malah membalas dengan mengeluarkan komando agar pemberontakan dimulai. Ini lebih awal dari rencana.
Dalam pemberontakan itu semua marinir Indonesia sehati untuk melayarkan Kapal Tujuh kembali ke Surabaya. Kenyataan ini merupakan tamparan bagi rasa sombong orang Eropa yang menganggap bahwa orang Indonesia hanyalah pekerja rendahan yang bisa dibohongi. Tanpa mengikuti sekolah pelayaran pun, ternyata kelasi Paradja mampu memimpin pelayaran kali ini. Hal ini sangat merendahkan para perwira Belanda.
Keesokan harinya, opsir mencoba berunding untuk mengambil hati marinir Indonesia yang telah menjadi majikan di kapal perang Belanda. Upaya perundingan ditolak oleh para pemberontak. Gubernur General De Jonge di Batavia memutuskan mengirimkan pasukan dengan kapal perang Aldebaran. Martin Paradja membidikkan meriam kaliber 15 cm untuk mengancam Aldebaran.
Pada hari kelima setelah melewati Selat Siberut, ada masuk telegram untuk mengikuti perintah di bawah pengawasan Kapal Penjelajah Java, tetapi Martin Paradja pemimpin Kapal Tujuh menolak mentah-mentah perintah ini dan membalas telegram: “Tetap berlayar ke Surabaya”. Komandan Kapal Perang Java, Kapten van Dulm terus membuntuti Kapal Zeven Provincien. Ia juga memberi ultimatum agar pemberontak segera menyerah dan mengibarkan bendera putih. Akan tetapi, peringatan tersebut tidak dipedulikan oleh para pemberontak. Akhirnya, van Dulm mengambil tindakan kekerasan untuk menghentikan pemberontakan tersebut.
Menyerah
Pada hari Jumat, 10 Februari 1933, tepat Jam 09.18 pagi, bom pertama dijatuhkan dari pesawat terbang militer Dornier, tepat di atas geladak Kapal Zeven Provincien, menewaskan 20 awak Indonesia dan tiga awak Belanda. Pemimpin pemberontakan Martin Paradja termasuk yang tewas dalam pengeboman itu. Melihat banyak korban yang bergelimpangan, Kawilarang yang mengganti posisi Paradja sebagai pemimpin, akhirnya menyatakan menyerah dan meminta bantuan medis segera.
Para pemberontak yang masih hidup dibawa dengan Kapal Java dan rekan-rekan pemberontak berkebangsaan Belanda dibawa dengan Kapal Orion menuju Pulau Onrust. Para awak Indonesia yang ditahan terdiri dari 100 orang yang tidak diborgol dan 50 orang yang diborgol. Sementara itu, awak Belanda terdiri dari 28 orang yang diborgol dan empat orang yang tidak diborgol dijebloskan ke penjara militer di Sukolilo, Madura, di mana sudah terdapat sekitar 400 marinir pemberontak di sana. Secara keseluruhan, para pemberontak dituntut 644 tahun oleh Mahkamah Militer.
Gubernur Jenderal De Jonge mendapat serangan atas terjadinya pemberontakan para pelaut Indonesia di atas Kapal Perang Zeven Provincien itu. Apalagi, ada beberapa pelaut orang Eropa yang membantu pelaut-pelat Indonesia itu, seperti Moud Boshart. Kaum nasionalis, seperti Soekarno, menjadi kambing hitam sebab-sebab terjadinya pemberontakan itu. Akibat berita itu mendapat tempat di halaman muka pers Amerika, beberapa media di Indonesia terkena getahnya. Harian Soeara Oemoem milik Dr Soetomo diberedel. Pemimpin redaksinya, Raden Tahir Tjindarboemi, ditahan, diadili, dan dipenjara. Raden Tahir Tjindarboemi, setelah lulus dari Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya, lebih memilih menjadi wartawan ketimbang menjadi dokter Belanda.
Ketika kemerdekaan, para pelaut dilepas dari Penjara Sukolilo dan mendirikan Ikatan Bekas Marine, dan selalu memperingati gerakan mereka pada setiap tanggal 3 Februari dan menyanyikan lagu “Mars Sukolilo”. Andre Therik, seorang pelaku mengatakan: “Penurunan gaji hanya momentum bagi meletusnya pemberontakan itu. Para pelaut Indonesia yang sudah bermimpi akan kemerdekaan Indonesia yang mendorong kami memberontak.”
Walau pemberontakan hanya berlangsung seminggu, tetapi dampaknya sangatlah besar. Implikasinya di dalam negeri, kebanggaan nasional makin menjalar. Organisasi pergerakan yang tersebar menyatu dalam Parindra (Partai Indonesia Raya) pimpinan dokter Soetomo, mendapat tekanan dan diberedel.
Selain beberapa media diberedel, tokoh-tokoh politik seperti Hatta dan Sjahrir dibuang ke Boven Digul, menyusul Soekarno dibuang ke Ende. Pengawasan terhadap gerakan politik diperketat. Di luar negeri, Belanda sangat merasa malu, apalagi Jerman dan Jepang dapat mengukur kelemahan Angkatan Laut Kerajaan Belanda, karena peristiwa itu terjadi di ambang Perang Dunia II. Media Jepang bahkan mengutip ucapan Kawilarang setelah dijatuhi hukuman 17 tahun: “Dihukum mati pun saya merasa bangga, karena bagaimanapun saya pernah memimpin De Zeven Provincien, kapal perang kebanggaan Kerajaan Belanda”
Ditulis oleh Peter A Rohi di Sinar Harapan
Ditulis dalam Sejarah Bangsa Maritim
Masa Depan Bumi di Lautan
Dalam rangka menyelamatkan masa depan bumi dari pemanasan global, Menteri Kelautan dan Perikanan, Dr. Fadel Muhammad dan Direktur Eksekutif Badan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNEP), Dr. Achim Steiner, menekankan peran penting laut dan pesisir sebagai pengendali perubahan iklim dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan hari ini pada acara konferensi pers 11th SSGC UNEP/GMEF di Bali (25/2).
Berpijak pada kemampuan ekosistem laut dan pesisir menjaga keseimbangan penyerapan karbon dan potensi pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), UNEP bekerjasama dengan Badan Pangan Dunia (FAO) dan Badan Pendidikan dan Pengetahuan (UNESCO) memperkenalkan konsep Karbon Biru (Blue Carbon). Konsep ini membuktikan peran ekosistem laut dan pesisir yang didominasi oleh vegetasi laut seperti hutan mangrove, padang lamun, rawa payau serta rawa masin (salt marshes) dalam mendeposisi karbon. Ekosistem pesisir dan laut diyakini mampu menjadi garda penyeimbang bersama hutan (Green Carbon) untuk mengurangi laju emisi melalui penyerapan karbon.
Dr. Fadel dan Dr. Steiner bersama-sama menegaskan bahwa dasar pernyataan bersama mereka adalah amanat Manado Ocean Declaration (MOD) yang dideklarasikan tahun lalu serta sebagai upaya mengendalikan dampak perubahan iklim. “Kami menghimbau kepada semua negara untuk menjaga kelestarian dan kemampuan ekosistem laut dan pesisir kita sebagai dinamisator iklim global”, ditegaskan oleh menteri Fadel dan direktur Achim.
“Langkah ini telah membuka kesempatan untuk melakukan riset lanjutan tentang peran penting laut sebagai pengendali perubahan iklim. Indonesia dengan luasan mangrove, serta padang lamun yang begitu besar, tentunya akan secara signifikan dapat memberikan kontribusi dalam proses penyerapan karbon”, menurut Fadel. “Kita harus segera berbuat karena masa depan bumi dan umat manusia sangat bergantung pada bagaimana kita mengelola laut secara arif dan lestari. Waktu berjalan cepat dan kita dihadapkan pada pilihan yang tidak dapat ditawar lagi. Manusia harus menjaga keseimbangan yang selama ini diperankan oleh laut agar tetap berfungsi dan mampu menyerap karbon dari dampak kegiatan kita”, jelas Fadel.
Isu kelautan merupakan salah satu pilar pokok dalam pertemuan sesi khusus UNEP kesebelas (11th SSGC UNEP/GMEF). Bahkan, secara khusus untuk pertama kalinya UNEP memberikan penghargaan atas kepemimpinan dalam inisiatif kelautan dan pesisir di fora internasional kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin (24/2).
Catatan untuk Redaksi
1. Konsep Blue Carbon
Ekosistem laut dan pesisir yang sehat di samping memberikan manfaaat dari sumberdaya dan jasa lingkungannya terhadap penghidupan masyarakat pesisir, juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan iklim serta penyerapan karbon yang merupakan kontributor perubahan iklim. Laut dan eksosistemnya berperan dalam menjaga keseimbangan penyerapan karbon. Kemampuan penyeimbang ini mulai terganggu dengan semakin banyaknya gas rumah kaca (GRK) hasil kegiatan manusia (anthropogenic) yang pada akhirnya diserap oleh laut dan ekosistemnya. Tanpa ada upaya pengurangan emisi GRK, dipastikan dalam beberapa dekade mendatang ekosistem pesisir dan laut berkurang secara signifikan. Hal ini berarti akan memberikan dampak ikutan terhadap masyarakat pesisir serta biota dan ekosistem laut dan pesisir lainnya.
Laporan Blue Carbon – The Role of Healthy Oceans in Binding Carbon yang disusun oleh UNEP, FAO, UNESCO-IOC dan IUCN menggambarkan alur emisi karbon dan estimasi kemampuan ekosistem laut dan pesisir dalam menyerap karbon dan gas rumah kaca. Laporan ini di diluncurkan pada 14 Oktober 2009 pada Diversitas Conference, Cape Town Conference Centre, South Africa.
Laporan ini menegaskan peran penting ekosistem laut dan pesisir dalam menjaga keseimbangan iklim. Laporan ini membantu pengambil keputusan untuk mengarustamakan dimensi kelautan dalam inisiatif perubahan iklim global. Laporan ini dapat diunduh di tautan http://www.grida.no/publications/rr/blue-carbon/.
2. Pertemuan 11th SSGC UNEP / GMEF
Pertemuan 11th SSGC UNEP/GMEF berlangsung pada tanggal 24 – 26 Februari 2010 di Bali International Convention Centre, Nusa Dua Bali. Pertemuan ini dibuka secara resmi oleh Presiden RI pada tanggal 24 Februari 2010. Presiden RI menerima penghargaan dari UNEP atas kepemimpinan beliau dalam mengangkat isu kelautan dan pesisir di fora internasional.
Pertemuan 11th SSGC UNEP/GMEF membahas tujuh topik draft keputusan yang meliputi (i) international environmental governance, (ii) enhanced coordination across the United Nations system, including the Environment Management Group, (iii) intergovernmental science-policy platform on biodiversity and ecosystem services, (iv) environmental law, (v) follow-up report on the environmental situation in the Gaza Strip, (vi) oceans dan (vii) consultative process on financing options for chemicals and wastes.
Luaran penting yang akan dihasilkan dari pertemuan 11th SSGC UNEP/GMEF adalah (i) Nusa Dua Declaration dan (ii) Decisions Under Preparation by the Committee of Permanent Representatives to UNEP for Consideration by the Eleventh Special Session of the Governing Council/Global Ministerial Environment Forum. Pada pertemuan tersebut, dimensi kelautan juga mendapat porsi tersendiri dan merupakan salah satu dari tujuh topik yang akan dibahas untuk draft keputusan (11th SSGC UNEP/GMEF).
Pertemuan sesi khusus kesebelas itu (11th SSGC UNEP/GMEF) yang dihadiri oleh sekitar 1.200 delegasi dari 192 negara mengambil tema “Lingkungan Hidup dalam Sistem Multilateral (Environment in the Multilateral System)”, yang membahas tiga topik: a) tata pemerintahan lingkungan internasional dan pembangunan berkelanjutan (international environmental governance/IEG and sustainable development); b) ekonomi hijau (the green economy) serta; c) keanekaragaman hayati dan ekosistem (biodiversity and ecosystems). Pertemuan ini juga digabungkan dengan pertemuan tingkat menteri Forest Eleven (F-11) pada 23 Februari 2010 dan Simultaneous Extraordinary Conference of the Parties (ExCOPs) Basel, Rotterdam, and Stockholm Conventions, 22-24 Februari 2010.
Sumber : http://www.dkp.go.id
Ditulis dalam Kelautan (Marine)
Semester pertama di kota Busan
Genap satu semester saya menjelajahi kehidupan, berpacu dengan sang waktu, menelusuri liuk jalan dan gang di antara himpitan APT (mini Apartement), menyelami euforia kehidupan siang dan malam di kota Busan, sebuah kota di semenanjung Korea Selatan.
Ditulis dalam Uncategorized
Prof. Dr.Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie
Mantan Presiden RI Ketiga, seorang jenius ilmuwan konstruksi pesawat terbang, ini selalu menjadi berita hangat . Pada masa emas kejayaan dengan segudang jabatan diemban, dialah manusia paling multidimensional di Indonesia. Ia manusia cerdas ajaib yang sempat menghadirkan selaksa harapan kemajuan teknologi demi kejayaan negeri ini.
Agak aneh, memang, anak bangsa yang satu ini. Dia hanya setahun kuliah di ITB Bandung, 10 tahun kuliah hingga meraih gelar doktor konstruksi pesawat terbang di Jerman dengan predikat Summa Cum laude. Lalu bekerja di industri pesawat terbang terkemuka MBB Gmbh Jerman, sebelum memenuhi panggilan Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia.
Di Indonesia dia 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT, memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis, dipilih MPR menjadi Wakil Presiden RI, dan disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung menjadi Presiden RI menggantikan Presiden RI ke-2 Soeharto
Itulah sosok dan kilas balik singkat perjalanan hidup B.J. Habibie, lelaki kelahiran Pare-Pare, 25 Juni 1936 ini. Dia penuh kontroversi dan merupakan sosok manusia paling multidimensional di Indonesia. Begitu banyak kawan-kawannya dan nyaris segitu banyak pula orang yang tak setuju dengan sepakterjang tokoh industri pesawat terbang kelas dunia yang memperoleh berbagai penghargaan, salah satunya paling berkelas adalah Theodhore van Karman Award, yang dianugerahkan oleh International Council for Aeronautical Sciences) pada pertemuan tahunan dan konggres ke-18 ICAs yang diselenggarakan di Beijing, China tahun 1992 dari Pemerintah China.
Ketika dia mendirikan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dan didaulat menjadi Ketua Umum, misalnya, sebagai antitesa berdiri pula Forum Demokrasi (Fordem) pimpinan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang populis dan egaliter serta inklusif. ICMI, yang dalam perjalanan selanjutnya praktis menjadi kekuatan politik Habibie, oleh Gus Dur dituding sebagai sektarian karena itu kurang bagus untuk masa depan sebuah bangsa yang majemuk seperti Indonesia.
Ketika pada 10 Agustus 1995 dia berhasil menerbangkan pesawat terbang N-250 “Gatotkoco” kelas commuter asli buatan dan desain putra-putra terbaik bangsa yang bergabung dalam PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN, kini menjadi PT Dirgantara Indonesia), dia diserang pelaku ekonomi lain bahwa yang dibutuhkan rakyat Indonesia adalah beras bukan “mainan” pesawat terbang.
Pemikiran ekonomi makro Habibie yang terkenal dengan Habibienomics, dihadirkan oleh lingkarannya sebagai counter pemikiran lain seperti Widjojonomics (yang sesungguhnya merupakan Soehartonomic). Ketika Habibie berhasil melakukan imbal-beli pesawat terbang “Tetuko” CN-235 dengan beras ketan itam Thailand, dia diledekin, pesawat terbangnya hanya sekelas ketan itam.
Dan kontroversi paling hangat adalah ketika dia menawarkan opsi otonomi luas atau bebas menentukan nasib sendiri kepada rakyat Timor Timur, satu propinsi termuda Indonesia yang direbut dan dipertahankan dengan susah payah oleh rezim Soeharto. Siapapun dia orangnya tentu ingin bebas merdeka termasuk rakyat Timor Timur, sehingga ketika jajak pendapat dilakukan pilihan terhadap bebas menentukan nasib sendiri (merdeka) unggul mutlak.
Dan kontroversi paling hangat adalah ketika dia menawarkan opsi otonomi luas atau bebas menentukan nasib sendiri kepada rakyat Timor-Timur (Tim-Tim), asatu propinsi termuda Indonesia yang direbut dan dipertahankan dengan susah-payah oleh Rezim Soeharto. Siapaun dia orangnya tentu ingin bebas merdeka termasuk rakyat Tim-Tim. Sehingga ketika jajak pendapat dilakukan pilihan terhadap bebas menentukan nasib sendiri (merdeka) unggulk merdeka.
Masalah Tim-Tim, salah-satu yang dianggap menjadi penyebab penolakan pidato pertanggungjawaban Habibie dalam Sidang Umum MPR RI hasil Pemilu 1999. Pemilu terbaik paling demokratis setelah Pemilu tahun 1955. penolakan ini membuat BJ, Habibie tidak bersedia maju sebagai kandidat calon presiden (Capres).
Ketika Habibie menjabat presiden hampir tidak ada hari tanpa demontrasi. Demontrasi itu mendesak Habibie merepon tuntutan reformasi dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti kebebasan pers, kebebasan berpolitik, kebebasan rekrutmen politik, kebebasan berserikat dan mendirikan partai politik, mebebasan berusaha, dan berbagai kebebasan lainnya. Namun kendati Habibie merespon tuntutan reformasi itu, tetap saja pemerintahannya dianggap merupakan kelanjutan Orde Baru . Pemerintahannya yang berusia 518 hari hanya dianggap sebagai pemerintahan transisi.
Keinginan Habibi mengakselerasi pembangunan sesungguhnya sudah dimulainya di Industri pesawat Terbang Nusantara (IPTN) dengan menjalankan program evolusi empat tahapan alih tehnologi yang dipercepat “berawal dari akhir dan berakhir diawal.”
Empat tahapan alih tehnologi itu, pertama, memproduksi pesawat terbang berdasarkan lisensi ituh dari industri pesawat terbang lain, hasilnya adalah NC 212 lisensi dari CASA Spanyol. Kedua, memproduksi pesawat terbang secara bersama- sama, hasilnya adalah “Tetuko” CN-235 berkapasitas 30-35 penumpang yang merupakan produksi kerjasama antara aqual antara IPTN dengan Casa Spanyol.
Ketiga, mengintegrasikan seluruh tehnologi dan sistem konstruksi pesawat terbang yang paling mutakhir yang ada di dunia menjadi sesuatu yang sama sekali didesain baru, hasilnya adalah “Gatotkoco” N-250 berkapasitas 50-60 pemumpang yang dikembangkan dengan teknologi fly-by-wire.
Keempat, memproduksi pesawat terbang berdasarkan hasil riset kembali dari awal, yang diproyeksikan bernama N 2130 berkapasitas 130 penumpang dengan biaya pengembangan diperkirakan sekitar 2 milyar dolar AS.
Empat tahapan alih tehnologi yang dipercepat didefinisikan “bermula dari akhir dan berakhir di awal,” memang sukar dipahami pikiran awam. Habibie dianggap hanyut dengan angan-angan teknologinya yang tidak memenuhi kebutuhan dasar tehnologi Indonesia, yang ternyata nenbuat sepeda saja secara utuh belum sampai.
Pemerintah orde baru sangat memanjakan program empat tahapan alih tehnologi Habibie dengan menempatkan berbagai proyeknya sebagai industri strategis yang menyedot banyak dana. Satu diantaranya, yang paling spetakuler, adalah IPTN, yang memerlukan subsidi.
Ketika masa reformasi, IMF mencantumkan dalam LOI (Letter Of Intent), bahwa pemerintah Indonesia tidak boleh lagi memberikan subsidi kepada IPTN, (Perusahaan ini kemudian menjadi IPTD). Otomatis perusahaan yang sudah menyusun program produksi baru, terpaksa merumahkan dan mem-PHK- 6000 karyawannya.
Lalu, dalam kesempatan deklarasi pendirian Masyarakat Ilmuwan dan Tehnologi Indonesia (MITI), Habibie menyebut hancurnya IPTN adalah ulah IMF yang menghambat Pemerintah RI membantu pengembangan pesawat terbang dengan mencantumkan klausal pencabutan subsidi dalam Letter Of Intent (LOI).
Nasionalisme
Istri adalah alasan utama Habibie untuk bolak-balik tinggal di Jerman. Pendamping hidup sekaligus teman suka dan duka yang sudah dikenal anak-anak umur 14 tahun, dr Hasri Ainun Habibie. Putri keempat H. Mohammad Besari itu disebut terbaring menjalani perawatan di sebuah rumahsakit di Jerman. Habibie ingin untuk selalu harus bisa mendampingi istri, dan harapnya istri juga akan sealu bisa mendampinginya. Menurut tim dokter yang menanganinya, Hasri Ainun belum dibenarkan tinggal atau berkunjung kedaerah tropis karena kelembabannya tinggi. Karena itu, tim dokter merekomendasikan untuk tinggal di Jerman sampai sehat secara tuntas.
Kendati demikian, kepulangan ke tanah air Habibie agaknya hanya karena dia ingin dikenang sebagai manusia yang baik. “Mungkin saat ini tak disadari. Tapi bisa jadi, berguna satu saat kelak, bila saya sudah tiada nanti,” tutur lelaki itu, lirih,’ demikian tulis Liputan6.com. Adalah stasiun TV SCTV ini, dikenal sangat dekat dengan Habibie, yang pada 2 Juli 2002 menyiarkan langsung dari Jerman kesaksian Habibie dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim untuk kebutuhan persidangan di Pengadilan Ad Hoc HAM Jakarta Pusat.
Habibie menyebutkan presiden itu bukan segala-galanya. Walau jenius dengan memperoleh royalti atas delapan hak paten hasil temuannya sebagai ilmuwan konstruksi pesawat terbang seperti dari Airbus dan F-16, dia mengaku masih banyak yang jauh lebih baik dari dirinya. Lama bermukim di lingkungan yang sangat menghargai ketokohan dan personality setiap orang, Habibie mendefinisikan jika ingin dihargai maka yang diperhatikan orang lain adalah sikap yang tak berubah terhadap lingkungan.
Menurutnya status, jabatan, dan prestasi bukan alasan untuk berubah terhadap lingkungan. Itulah sebabnya, ketika sudah menjadi RI-1 sikap Habibie terhadap lingkungan tetap tidak berubah. Malah semakin menampakkan watak aslinya, misalnya tidak mau diam dan bergerak sesuka hati padahal sudah ada aturan protokoler yang harus dipatuhi.
Biodata Sosok Manusia Multidimensional :
Nama:
Prof. Dr.Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie
Lahir:
Pare-Pare, 25 Juni 1936
Agama:
Islam
Jabatan :
Presiden RI Ketiga (1998-1999)
Pendiri dan Ketua Dewan Pembina The Habibie Center
Istri:
dr. Hasri Ainun Habibie (Menikah 12 Mei 1962)
Anak:
Ilham Akbar dan Thareq Kemal
Cucu:
Empat orang
Ayah:
Alwi Abdul Jalil Habibie
Ibu:
R.A. Tuti Marini Puspowardoyo
Jumlah Saudara:
Anak Keempat dari Delapan Bersaudara
Pendidikan :
1. ITB Bandung, tahun 1954
2. Rheinisch Westfalische Technische Hochscule (RWTH), Aachen, Jerman, dengan gelar Diplom-Ingenieur, predikat Cum laude pada Fakultas Mekanikal Engineering, Departemen Desain dan Konstruksi Pesawat Terbang (1955-1960).
3. Rheinisch Westfalische Technische Hochscule (RWTH), Aachen, Jerman, dengan gelar doktor konstruksi pesawat terbang, predikat Summa Cum laude, pada Fakultas Mekanikal Engineering, Departemen Desain dan Konstruksi Pesawat Terbang (1960-1965).
4. Menyampaikan pidato pengukuhan gelar profesor tentang konstruksi pesawat terbang di ITB Bandung, pada tahun 1977.
Pekerjaan :
1. Kepala Riset dan Pengembangan Analisis Struktur pada perusahaan Hamburger Flugzeugbau Gmbh, Hamburg, Jerman antara tahun 1965-1969.
2. Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada Pesawat Komersial dan Angkut Militer MBB Gmbh, di Hamburg dan Munchen antara 1969-19973
3. Wakil Presiden dan Direktur Teknologi pada MBB Gmbh, Hamburg dan Munchen tahun 1973-1978
4. Penasehat Senior Teknologi pada Dewan Direksi MBB tahun 1978.
5. Pulang ke Indonesia dan memimpin Divisi Advanced Technology Pertamina, yang merupakan cikal bakal BPPT, tahun 1974-1978.
6. Penasehat Pemerintah Indonesia di Bidang Pengembangan Teknologi dan Pesawat Terbang, bertanggungjawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia Soeharto pada tahun 1974-1978.
7. Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tahun 1978-1998.
8. Wakil Presiden R.I. pada 11 Maret 1998-21 Mei 1998.
9. Presiden RI 21 Mei 1998-20 Oktober 1999.
Organisasi:
Pendiri dan Ketua Umum ICMI
Penghargaan:
Theodore van Karman Award
Sumber:
Dari berbagai sumber antara lain The Habibie Center dan Soeharto Center.com
Sumber : http://www.tokohindonesia.com
Pilih Pemimpin yang Berkarya Nyata
Ditulis dalam Tokoh Bangsa
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.