Salah satu produk yang dihasilkan oleh masyarakat di desa pesisir adalah terasi. Tidak sedikit wilayah pesisir di Indonesia yang memproduksi terasi baik dalam skala industri maupun rumah tangga. Beberapa daerah yang banyak menghasilkan terasi diantaranya Cirebon, Tuban, Sidoarjo, Madura, Indramayu, Bagan Siapi-api dan Bangka. Di lokasi Praktek Pengenalan Kehidupan Masyarakat Pesisir (PPKMP) tahun ini yakni Desa Ciparagejaya Kabupaten Karawang, juga terdapat sentra-sentra pengolahan terasi secara tradisional.

Pada dasarnya terasi merupakan hasil proses fermentasi dari ikan atau udang yang diolah sedemikian rupa sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada beberapa masakan khas nusantara seperti sambal terasi, kangkung belacan, pecel, rujak buah atau beberapa hidangan lain yang sekiranya membutuhkan tambahan aroma terasi.

Terasi yang terdapat di Desa Ciparagejaya memiliki kekhasan tersendiri. Kemurnian warna maupun aroma membuat kesan tersendiri bagi calon konsumen. Warnanya yang coklat kehitam-hitaman, aroma udang rebon yang memikat memposisikan produk ini berkualitas tinggi. Kendati demikian harganya pun cukup terjangkau, pembeli cukup mengeluarkan uang sebesar 15.000 rupiah untuk mendapatkan 1 kilogram terasi berkualitas.

Terbuat dari udang rebon segar dan diolah secara teliti sehingga tidak ada campuran ikan didalamnya. Adapun cara pembuatannya adalah sebagai berikut : Hasil tangkapan disortir kemudian dipisahkan antara udang dan ikan lalu udang rebon segar dibersihkan kemudian dilakukan penjemuran sampai kering. Langkah berikutnya adalah penggilingan, dang yang kering digiling sampai halus sehingga hasil gilingannya akan berupa gumpalan pasta yang pekat. Pasta ini dibubuhi garam sebelum dilakukan penjemuran.

Setelah cukup kering, pasta terasi tersebut dibentuk sesuai selera atau permintaan konsumen. Biasanya untuk 1 kilogram terasi dibagi menjadi sepuluh bagian atau 1 ons per bagian yang dibentuk bulat ataupun kotak. Setelah dibentuk langkah selanjutnya melakukan pengemasan dengan menggunakan plastik yang dilapisi oleh kertas tahan air.

Kapasitas produksi untuk satu unit produksi per minggunya dapat mencapat 40 kilogram terasi, bobot ini tergantung dari hasil tangkapan atau ketersediaan bahan baku. Seperti dikutip dari hasil wawancara kami dengan pak Caswan, salah satu pengolah terasi di Desa Ciparagejaya. Pak caswan dapat membuat terasi yang kami pesan sebanyak 30 kilogram dalam waktu 5 hari, padahal produksinya hanya dibantu oleh anak dan istrinya.

Setiap pagi pak Caswan mencari udang rebon di pantai Ciparagejaya dengan menggunakan serok atau biasa disebut dengan istilah “dragging gear”, salah satu jenis alat penangkap ikan tradisional yang hanya menggunakan tenaga manusia dan tidak menggunakan perahu karena perairannya cukup dangkal yakni 80-120 cm. Cuaca merupakan salah satu faktor pendukung dalam memproduksi terasi skala tradisional atau rumahan, karena jika kondisi hujan udang rebon hasil tangkapan tidak dapat segera diolah dan akan mempengaruhi jumlah hari produksi.

Di beberapa unit pengolahan terasi yang lain, bahan baku didapatkan dari hasil lelang di Tempat Pelelangan Ikan KUD Mina Mandiri Singaperbangsa. Udang rebon masih diolah secara tradisional namun sudah menggunakan mesin penggiling semi-otomatis sehingga produksinya jauh lebih besar dari produksi ‘rumahan’. Pengolahan terasi skala besar di Desa Ciparagejaya hanya memproduksi terasi setengah jadi sehingga tidak terlihat merek lokal yang beredar dipasaran. Secara rutin dua kali dalam sebulan terasi setengah jadi trsebut dikirim ke pabrik pembuatan terasi di beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Rembang atau Pati.

Mengamati kondisi tersebut timbul beberapa gagasan untuk memberikan nilai tambah (value added) pada produk terasi Ciparagejaya. Ketersediaan bahan baku menjadi pertimbangan untuk pengembangan produksi terasi. Informasi yang lengkap mengenai terasi harus segera diinformasikan mulai dari teknologi pengolahan yang bersih dan professional, labelling/branding hingga marketing (pemasaran). Harapan Ciparagejaya menjadi desa nelayan unggulan dapat tercapai dengan upaya yang maksimal dan sinergi diantara seluruh lapisan masyarakat. |akusdinar|

Sumber : http://stp.dkp.go.id

MiniaturKapalKreatifitas adalah cara mengapresiasikan diri kita terhadap suatu masalah, dengan menggunakan berbagai cara yang datang secara spontanitas yang merupakan hasil dari pemikiran kita. Kreatifitas bisa disalurkan dengan berbagai cara, diantara nya dengan membuat karya-karya seni yang mengandung nilai-nilai estetika atau keindahan. Kreatifitas bisa muncul karena adanya dorongan di dalam diri kita untuk berkarya.

Pada umumnya orang menghasilkan suatu karya dari hal-hal yang tidak disengaja atau tidak terpikirkan sebelumnya. Warna Respati, salah seorang warga desa Ciparagejaya yang berprofesi sebagai nelayan memulai usaha sampingannya dengan membuat miniatur kapal penangkap ikan khas Ciparagejaya sejak delapan tahun silam. Disela-sela kesibukannya menangkap ikan, respati menyempatkan waktunya untuk mengolah gelondongan kayu berdiameter 20 cm menjadi sebuah maket perahu yang bernilai seni.

Ada banyak nelayan lain yang menaruh minat dalam kegiatan membuat miniatur kapal, sebut saja Pak Kartono yang tinggal bersebelahan dengan Tempat Pelelangan Ikan KUD Mina Mandiri “Singaperbangsa” dan ada juga pak Nakim. Menurut catatan kami ada sekitar delapan orang yang memiliki keahlian dalam membuat miniatur kapal. Sehingga dengan potensi yang ada keterampilan tersebut dapat pula ditularkan kepada nelayan-nelayan lain yang berminat menggeluti bidang tersebut.

Menurut Respati yang tinggal di river-side alias di pinggir kali Ciparage, “awalnya sih iseng-iseng aja, tapi pas ada teman dari luar kabupaten main ke rumah dan lihat karya saya dia tertarik dan langsung pesan”, “dari informasi teman ternyata banyak yang minat memiliki miniatur kapal dari Ciparagejaya dan sampai sekarang saya membuatkan untuk beberapa pesanan” sambil menunjukkan dua buah miniatur kapal pesanan dari garut dan pekalongan.

Berdasarkan penuturan bapak yang pernah memiliki bengkel las ini, “pengerjaan satu unit miniatur kapal bisa mencapai 15-30 hari tergantung ukuran dan tingkat kesulitannya. Untuk pasokan bahan didapat dari lingkungan sekitar desa”. “sedangkan harga per unit-nya adalah 350.000-500.000 rupiah” tambahnya.

Pekerjaan ini bisa dikatakan pekerjaan sampingan yang dilakukan setelah nelayan pulang dari melaut, pekerjaan biasa dimulai siang sampai sore karena mereka biasa berangkat melaut mulai dini hari pukul 03.00 pagi dan kembali pukul 11.00 pagi sehingga banyak waktu kosong yang biasa digunakan.

Kegiatan ini terasa sangat penting disaat tidak melaut karena cuaca kurang bersahabat seperti musim barat lalu. Ia menuturkan, “penghasilan keluarga dapat ditopang dari kegiatan membuat miniatur kapal disaat kami tidak menangkap ikan karena ombaknya terlalu tinggi, lagi pula ada perintah larangan berlayar dari syahbandar sini jika lagi musim barat”.

Beragam jenis kapal nelayan dapat dibuat oleh pengrajin dari Ciparagejaya ini, apalagi mereka dapat membuatkan miniatur kapal sesuai pesanan atau hanya dengan melihat gambarnya saja. Target para pengrajin itu supaya karyanya dapat dihargai dan dinikmati oleh khalayak ramai. Salah satu upayanya dengan mempromosikan karya-karya tersebut di Galeri Kabupaten Karawang.

Berbicara masalah kendala, tentu ada banyak jalan berliku yang dilalui para pengrajin tersebut. Salah satunya masalah pendanaan, Ia menerangkan “Pendanaan yang terbatas membuat proses pembuatannya menjadi telat, dana tersebut biasa digunakan untuk pembelian bahan baku seperti kayu, cat dan media lainnya”. “Upaya kami bisa maksimal dan menjadi professional seandainya ada dukungan dari pihak terkait dalam hal pendanaan maupun pelatihan seni” imbuhnya.

Beragam potensi yang mencuat dari anggota masyarakat Ciparagejaya menjadi suatu kekuatan pemerintah desa untuk membangun desa dari sector ekonomi, sehingga dapat menutupi kekurangan yang ada saat ini. Pembinaan yang serius terhadap potensi ini mendorong desa menjadi lebih maju dan dinamis diberbagai sektor kemasyarakatan. |akusdinar|

Keluar dari pusat kota Karawang, peserta PPKMP bergerak menuju sebuah desa nelayan di utara Karawang sejauh ±40 km dengan jarak tempuh 1,5 jam perjalanan darat. Perjalanan terasa berat ketika bis yang kami tumpangi harus melewati jalan yang kecil dan berliku, sesekali kendaraan lain harus rela berhenti dipinggiran jalan atau bergantian supaya perjalanan tetap lancar.

Setelah sekitar 45 menit perjalanan, terlihat ada tulisan batas desa “Selamat datang di desa Ciparagejaya” begitu kira-kira bunyi tulisan yang ditulis dalam sebidang plat besi. Keadaan semakin tegang tatkala bis yang kami tumpangi mulai menyusuri jalan desa dengan kubangan yang berdiameter cukup besar ditengah jalan. Sesekali terdengar bunyi gesekan body bis dengan jalan. Setelah kurang lebih 3 km menyusuri jalan desa yang rusak parah, akhirnya pada pukul 15.00 WIB kami tiba di tepi pantai desa Ciparagejaya (5/3). Tampak hadir bapak Camat Kecamatan Tempuran menyambut kehadiran rombongan peserta PPKMP.

Desa ciparagejaya merupakan salah satu desa pesisir yang ada di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Keberadaannya cukup dikenal karena berbagai potensi yang dihasilkannya didominasi oleh produk perikanan seperti terasi, ikan asin, pindang maupun ikan segar.

Ikan hasil tangkapan nelayan langsung didaratkan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) milik KUD Mina Mandiri ‘Singaperbangsa’ yang berlokasi di Desa Ciparagejaya. Aep Suhadi, Manajer TPI menjelaskan “Beragam jenis ikan ekonomis penting didaratkan setiap harinya  disini mulai dari cumi-cumi, bawal, tenggiri, rebon, teri, sangge, karena hampir seluruhnya nelayan lokal melakukan penangkapan ikan hanya sehari (one-day fishing) sehingga kondisi ikan kebanyakan masih segar”. “Bahkan ada juga nelayan luar yang suka mendaratkan ikannya di TPI sini, selain lokasi TPI yang berada di mulut muara sungai (strategis) harga jual ikan yang bagus menjadi pertimbangan nelayan” tambahnya.

Ketersediaan bahan baku menjadikan suatu alasan dibangunnya sentra-sentra pengolahan ikan secara tradisional. Terdapat sekitar 17 unit pengolahan ikan dengan beragam komoditas mulai dari pengolahan rebon, ikan belah, sampai terasi, yang seluruhnya dilakukan dengan cara tradisional. Menurut keterangan Fatonah, seorang pengolah sekaligus pemilik unit pengolahan ikan, menuturkan “Produk kita kebanyakan ikan sangge –ikan tigawaja yang dibelah sebelum dijemur- dalam sehari kalau panasnya bagus bisa menghasilkan sebanyak 200 kg, biasanya ada pengumpul yang datang atau kita juga bisa langsung menjualnya ke pasar Johar (±25 km dari Ciparagejaya)”. “Itu pun kalau dilelangannya lagi rame, biasanya suami saya ikut lelang di TPI dari jam 9 pagi sampai siang” ujarnya.

Selain ikan hasil tangkapan dari laut, Ciparagejaya juga mengupayakan ikan hasil pembudidayaan di tambak (pond). Ada dua komoditas budidaya yakni udang dan bandeng, lokasi tambak terhampar seluas 500 ha dan masih menggunakan sistem tradisional. Dalam satu kesempatan taruna-taruni dapat mengikuti panen bandeng bersama pemilik tambak

Nelayan-nelayan desa ciparagejaya dalam operasionalnya dikoordinir oleh KUD Mina Mandiri ‘Singaperbangsa’ dan juga tergabung dalam rukun nelayan desa Ciparagejaya. Tata kelola KUD yang tertib dan transparan/akuntabel menjadi salah satu kunci sukses masyarakat desa Ciparagejaya. Tercatat sekitar 227 unit kapal penangkap ikan dengan beragam ukuran dan alat penangkap ikan. Potensi-potensi ini yang harus dikelola dengan baik oleh masyarakat Ciparagejaya guna meningkatkan kesejahteraan dan percepatan pembangunan wilayah desa Ciparagejaya, seperti optimalisasi sarana dan prasarana pelabuhan, penataan fasilitas umum, perbaikan jalan desa yang berperan sebagai urat nadi perekonomian desa. |akusdinar|

Sumber : http://stp.dkp.go.id

Sambutan dari Perwakilan Pemerintah Kab. KarawangKeberhasilan suatu program tentunya tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, baik pemerintahan maupun swasta/perseorangan. Sebuah sinergi akan terbentuk dengan kekuatan kolaborasi yang maksimal serta energi yang tercurahkan sangat besar. Sehingga diharapkan akan menciptakan iklim kerjasama yang solid dan berkelanjutan.

Hal tersebut terbukti pada saat rombongan peserta Praktek Pengenalan Kehidupan Masyarakat Pesisir (PPKMP) yang terdiri dari para taruna dan taruni Angkatan 44 Sekolah Tinggi Perikanan diterima di Aula kantor Bupati Karawang awal maret lalu (5/3). Semula dijadwalkan upacara penerimaan peserta PPKMP 2009 akan diterima langsung oleh Bupati Karawang Dadang S Muchtar, namun pada saat yang bersamaan beliau ada kegiatan dinas lain sehingga kesempatan tesebut diwakili Asisten Bupati bidang Pemerintahan.

Dalam pidato sambutannya, beliau menyampaikan ucapan terima kasih dan harapan yang sangat besar kepada Sekolah Tinggi Perikanan atas dipilihnya Kabupaten Karawang sebagai lokasi PPKMP tahun 2009. “Kami ucapkan selamat datang kepada para dosen dan instruktur serta mahasiswa/i STP di Karawang” sambutnya. Beliau menambahkan “kami sampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas dipilihnya Karawang sebagai lokasi praktek tahun ini oleh STP, karena Karawang memiliki potensi yang besar dibidang perikanan untuk dikembangkan”, “kehadiran mahasiswa/i STP diharapkan dapat membawa perubahan yang signifikan bagi perkembangan masyarakat pesisir Ciparagejaya dari berbagai aspek” tambahnya.

tarunaPada kesempatan yang sama, Bapak M. Yusuf Syam, A.Pi, MM selaku wakil ketua panitia menyampaikan hal senada, “kami berharap para taruna/i dapat berinteraksi dengan baik dengan masyarakat desa Ciparagejaya sehingga dapat berbagi pengetahuan dan menimba pengalaman mereka selama berada ditempat praktek tanpa meninggalkan sikap, etika dan kedisiplinan taruna”.

Ini bukan kali pertama Sekolah Tinggi Perikanan melaksanakan kegiatan praktek bagi taruna-taruni semester II, namun tahun sebelumnya daerah ini menjadi alternatif pilihan lokasi PPKMP. Selain jarak yang relatif  dekat dari ibu kota –waktu tempuh 2,5 jam perjalanan darat- daerah ini cukup akomodatif bagi kegiatan praktek seluruh program studi yang ada, baik kegiatan penangkapan ikan, perbengkelan, pengolahan ikan, budidaya, konservasi bakau sampai dengan kelembagaan penyuluhan seperti KUD, Rukun Nelayan dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM).

Upacara penerimaan peserta PPKMP dihadiri pula oleh beberapa instansi terkait di lingkungan pemerintahan Kabupaten Karawang, seperti Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Karawang dan Kantor Kecamatan Tempuran.

Menjelang berakhirnya upacara, Bapak Saleh Effendi selaku asisten bupati bidang pemerintahan memberikan cinderamata kepada Sekolah Tinggi Perikanan yang diwakili oleh Bapak M. Yusuf Syam, A.Pi, MM selaku wakil ketua panitia. [akusdinar]

Sumber : http://stp.dkp.go.id

Kaderisasi Sumberdaya Manusia Perikanan dan Kelautan melalui Praktek Pengenalan Kehidupan Masyarakat Pesisir (PPKMP) Angkatan 44 bagi taruna/i Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Pengembangan Sumber Daya Manusia Perikanan dan Kelautan merupakan salah satu upaya dalam pembangunan perikanan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Perikanan. Hal tersebut tersurat dalam pasal 57 (1) yang berbunyi “Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan untuk meningkatkan pengembangan sumber daya manusia di bidang perikanan”. Baca Selengkapnya..

Oleh: akusdinar | Februari 24, 2010

Teori vs Praktek

Selama 28 bulan atau 2 tahun 4 bulan sejak dibuatnya blog ini, masih belum memberikan dampak apa-apa bagi rekan-rekan blogger, seperti tong kosong yang tak ada makna. Harapan awal ingin menuangkan segala sesuatu yang terekam dan mengorganisir semua informasi yang diterima untuk di sharing kembali masih belum terwujud hingga saat ini. Harapan, cita-cita, angan-angan memang mudah dimunculkan, mudah diucapkan, namun pada kenyataannya (pelaksanaannya) tak semudah membalikkan telapak tangan.

Saya berpikir ini kali ketiga saya membuat statement untuk memulai menulis lagi,, semoga upaya menulis kedepan lebih lancar dan mudah. Saya mencoba memunculkan kembali imajinasi, intuisi yang selama ini membeku dan tersimpan ditelan sang waktu, sehingga ada nilai-nilai yang bisa diambil untuk sekedar berbagi.

terima kasih 😉

I decided long ago / Never to walk in anyone’s shadow / If I fail, if I succeed / At least I’ll live as I believe / No matter what they take from me / They can’t take away my dignity Because the greatest love of all / Is happening to me / I found the greatest love of all / Inside of me The greatest love of all / Is easy to achieve / Learning to love yourself / It is the greatest love of all

Prof Ken Soetanto

Prof Ken Soetanto

Kutipan lirik lagu The Greatest Love of All di atas, dapat menggambarkan geliat dan pergumulan hati Ken Soetanto, pada saat ia terpaksa harus berhenti bersekolah. Tahun 1965, ketika terjadi gejolak politik, Chung-Chung High School di Surabaya – Jawa Timur ditutup pemerintah. Padahal waktu itu, ia baru duduk di kelas satu SMA.

Maka, selanjutnya ia bekerja di toko milik kakaknya. Sembilan tahun kemudian, akhirnya ia berhasil berangkat ke Jepang untuk melanjutkan sekolah.

Berbekal semangat belajar tinggi, tekad yang pantang menyerah, serta terus menggenggam erat mimpi-mimpinya, Ken berhasil meraih gelar profesor dan empat gelar PhD/Doktor dari empat universitas berbeda di Jepang. Yaitu PhD di bidang aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of Technology (1985), PhD di bidang kedokteran dari Universitas Tohoku (1988), kemudian gelar Doktor ilmu farmasi dari Science University of Tokyo (2000), dan Doktor ilmu pendidikan dari Universitas Waseda (2003). Bahkan dari pengembangan interdisipliner dari keempat ilmu yang dikuasainya, Soetanto telah menghasilkan 29 paten di Jepang dan dua paten di Amerika Serikat.

Berbagai penghargaan berhasil diraih Soetanto, di antaranya Outstanding Achievement Awards in Medicine and Academia dari Pan Asian Association of Greater Philadelphia, AS. Juga predikat profesor riset terbaik dan profesor mengajar terbaik selama tujuh tahun berturut-turut di Toin University of Yokohama. Sebuah pencapaian yang bukan hanya sangat luar biasa, akan tetapi bahkan terbilang nyaris mustahil. Mengingat, sebelumnya begitu banyak rintangan yang harus ia hadapi. Mulai dari para akademisi Jepang yang meremehkannya sampai kisah masa kecilnya yang rapuh dan mengidap penyakit TBC saat masih tinggal bersama ibu tirinya.

Lalu, dari mana semua keberhasilannya itu ia peroleh? Jawabannya, seperti bunyi pepatah lama “There is no Greatness, without Suffering! Tak ada KEAGUNGAN tanpa PENDERITAAN”. Seperti apa persisnya penderitaan yang di lalui Soetanto di masa kecilnya? Serta bagaimana ia terus berusaha berkelit dari semua rintangan yang datangmenghadang? Berikut kronologinya.

Sukses yang Tertunda

Saat sekolah SMA-nya ditutup, Soetanto terpaksa bekerja sebagai tukang reparasi radio di toko milik kakaknya. “Setiap tutup toko jam delapan malam, saya belajar sampai jam lima pagi. Saya terus mengotak-atik radio dan tape. Semangat ini masih saya bawa sampai sekarang, dan inilah semangat yang kemudian mendorong saya untuk mengambil sekolah di Jepang,” kisahnya kepada majalah motivasi LuarBiasa. “Setelah saya bisa, kemudian saya mulai muter ke toko-toko elektronik yang ada di Blawuran, untuk menawarkan reparsi secara cuma-cuma. Saya ditanya kamu siapa? Apa bisa reparasi? Waktu itu orang belum percaya kepada saya. Biasanya saya jawab: nanti nggak usah bayar, kalau rusak komponennya saya ganti. Waktu itu saya keliling memakai sepeda.”

Meski tokonya kemudian berkembang sangat pesat, sehingga Soetanto pun berhasil mengumpulkan banyak sekali uang, akan tetapi panggilan jiwanya tak berhenti mengusik. Ia tak sedikit pun bermimpi ingin menjadi pedagang, meski bakal berhasil sekaya apa pun. Keinginannya pada waktu itu hanya satu, yaitu ingin terus menuntut ilmu, dan menjadi ilmuwan. Akan tetapi dalam suasana sosial politik di Indonesia pada waktu itu, peluangnya boleh dibilang mustahil. Karena itulah mimpi berikutnya adalah sekolah di Jepang.

“Untuk biaya sekolah ke Jepang, kebetulan saya punya tabungan dan kakak saya juga akan membantu separuhnya. Sebetulnya kakak saya menentang, dia bilang: orang yang lulus S1 saja inginnya menjadi manajer, lha kamu yang punya perusahaan sendiri kok mau kembali menjadi kere? Saya ingin sekolah lagi karena saya merasa bahwa selama berusaha mencari uang, perasaan saya hampa, sehingga hanya berjalan begitu-begitu saja. Saya memerlukan teknik, untuk bisa mengabdi kepada masyarakat. Sebetulnya saya punya dua pilihan, yaitu sekolah ke Jerman atau ke Jepang. Tetapi akhirnya saya lebih memilih ke Jepang.”

Ketika akhirnya Soetanto berhasil meneruskan sekolah ke Jepang, perjuangan yang sesungguhnya baru dimulai. “Pada saat mulai belajar bahasa di sana, saya diremehkan. Sebab, saat sekolah itu umur saya sudah 27 tahun. Dan di sana, lazimnya pada saat umur 27 tahun, orang sudah lulus S3 dan sudah memperoleh gelar PhD. Kalau dihitung-hitung, saya sudah telat delapan tahun.

Rencananya saya mau sekolah di Jepang selama satu tahun, tapi akhirnya sampai empat tahun. Pada saat memasuki tahun ketiga, tiba-tiba perusahaan kakak saya di Pasar Turi, terbakar. Waktu itu sekitar 3.500 sampai 4.500 toko terbakar habis dalam waktu 3 hari. Karena itu kakak saya bilang, ‘Maaf saya sudah sudah tidak bisa membantu biaya kamu lagi, kamu sebaiknya pulang sekarang.’ Saya jawab, ‘Saya pasti lulus! Untuk itu, saya tetap akan meneruskan sekolah tanpa kiriman dari kakak.’ Kebetulan saya di Jepang mengajar privat, dengan penghasilan 40 ribu yen, atau kira-kira sepertiga dari biaya hidup yang saya butuhkan. Singkatnya, never-never give up, saya kejar terus,” kisahnya, tentang masa-masa awal ia menerima cobaan.

Soetanto berhasil menyelesaikan S1 dalam waktu empat tahun, S2 selama dua tahun, dan S3 di Tokyo Institut of Technology selama tiga tahun. “Setelah persis tiga tahun lulus S3, saya merasa harus pulang ke Indonesia, untuk membawa istri dan anak saya datang ke Jepang. Kebetulan saya mempunyai dome yang murah, sehingga bisa mengajak istri dan anak tinggal di Jepang. Tapi ternyata setelah satu setengah tahun mencari pekerjaan, saya nggak mendapatkannya. Dari lima puluh surat aplikasi (lamaran) yang saya kirim nggak ada satupun yang dijawab! Saya sempat heran, Tokyo Institut of Technology sekolah saya itu, merupakan sekolah yang bagus, setara dengan MIT-nya Jepang. Nilai saya pun juga bagus, tapi nyatanya kok nggak ada satu pun yang mau membalas lamaran saya. Sampai akhirnya saya tahu, bahwa ternyata orang Indonesia atau orang luar negeri nggak mungkin bisa bekerja sebagai akademisi di Jepang. Ada semacam tembok penghalang yang merintangi.

Saya terus berusaha mencari jalan keluar, sampai kemudian saya berkesimpulan, bahwa satu-satunya cara agar bisa dapat pekerjaan, saya harus melebihi kepintaran orang Jepang. Saya harus lebih pintar, lebih jago dari mereka. Tapi bagaimana caranya? Pada saat itu saya sudah memiliki gelar PhD di bidang elektro,” kenang Soetanto.

Soetanto akhirnya kuliah lagi. Kali ini Soetanto mengincar gelar PhD di bidang kedokteran. “Mestinya, waktu yang saya butuhkan untuk sampai mencapai gelar PhD sekitar tujuh tahun. Tapi syukurnya, dalam waktu 3,5 tahun saya sudah meraih gelar Doktor. Dengan mengaintongi dua gelar PhD, saya merasa menjadi orang top. Kalau istilahnya orang Jepang, seperti ‘hantu yang membawa besi.’ Hantu itu sudah ditakuti, apa lagi masih ditambah membawa besi, maka akan sangat ditakuti dan kuat. Dalam pikiran saya, pasti saya bakal langsung dapat pekerjaan. Karena saya merasa seperti layaknya Doktor lulusan Stanford dan Doktor lulusan Harvard di Amerika. Tapi siapa sangka, pada saat saya kembali mencari pekerjaan, ternyata saya tidak juga mendapatkannya. Padahal biaya hidup, saya sudah nggak punya. Sampai anak istri saya ungsikan ke Hong Kong di tempat kakaknya.

Karena tidak punya uang, tempat tinggal saya ganti dengan yang lebih kecil. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ada telepon dari profesor saya, yang saya panggil dengan sebutan Profesor IT. Profesor ini benar-benar pintar, sangat hebat, patennya hampir mencapai 900 item, tetapi sangat kejam. Dia menelepon saya, memberi kabar bahwa dia sudah pensiun. Kemudian ia minta tolong saya, untuk mengurusi murid-murid kiriman Pak Habibie dari Indonesia.

Singkatnya, pada waktu bertemu dia sempat mengeluh, “Aduh, saya pusing menjadi Chairman, karena disuruh mencari dosen Biomedical, di Jepang mana ada?’

Maka segera saya jawab, ‘Pak saya ini dari kedokteran dan biomedical.’ Dia bingung mendengar jawaban saya. Profesor ini dulu dosen saya di S1 dan S2. Tak lama kemudian dia tanya, ‘Apa kamu bisa?’ Singkat cerita, saya dikenalkan ke Rektor. Setelah itu saya dites. Hasilnya? Respektor saya 37, sudah sangat cukup, bahasa Inggris saya juga cukup. Mereka bilang: Ya sudah, besok kirim aplikasinya.”

Seketika Soetanto merasa sangat senang sekali! Akhirnya dia berhasil mendapat pekerjaan juga. ‘Tuhan memang mangasihi orang-orang yang tidak putus asa’, begitu pikirnya. “Saking senangnya, aplikasi papernya saya buat serapi mingkin. Sampai saya harus menyiapkan hingga jam lima pagi. Saya nggak berani tidur, karena jam 7 pagi saya mesti sudah berangkat ke universitas untuk menyerahkan aplikasinya. Pada saat saya memasuki kampus, orang-orang nggak ada yang melihat saya. Sudah jam 9, akhirnya saya permisi memperkenalkan diri, ‘Saya ini Soetanto yang kemarin datang bersama profesor IT.’ Sampai saya menunggu selama 45 menit, semuanya masih pada diam.

Sekali lagi saya buka suara, ‘Saya ini Soetanto muridnya profesor IT yang kemarin ke sini, Anda kemarin juga ikut menemui saya kan?’ Lagi-lagi, semua tetap diam.

Baru sekitar jam setengah 11 siang, profesor keluar dari ruangan, saya senang sekali. Tiba-tiba, si profesor berkata ‘Tanto, ini bukan di Indonesia, ini Jepang, lupakan aplikasi kamu!’ Wah…saya jadi bingung. ‘Yang menyuruh kan Anda? Yang mencari dosen kan Anda? Yang suruh bawa aplikasi juga Bapak sendiri kan?’

Dengan dingin dia bilang kepada saya, ‘Kamu ke sini kan untuk belajar dari orang Jepang.’ Mendengar jawaban itu kontan saya menangis. Profesor itu menambahkan. ‘Kamu itu bisa belajar atas bantuan orang Jepang, kok sekarang mau mengajar orang Jepang? Orang Jepang tidak butuh kamu!’ Hati saya benar-benar hancur saat itu,” tutur Soetanto.

Namun, netter yang luar biasa, semua peristiwa pahit yang dialami Soetanto sejak masih kecil hingga berbagai tekanan yang diterimanya di Jepang, seakan memang dimaksudkan “kehidupan,” untuk mempersiapkannya. Sebagaimana tekanan dan panas bumi dalam suhu tinggi yang mampu mengubah batu bara biasa, menjadi berlian yang indah. Begitu pula yang terjadi pada Soetanto. Beliau kini telah menjelma menjadi “orang besar”. Ia adalah orang pertama dari luar Jepang yang bisa menduduki level jabatan Kepala Divisi di Universitas Waseda-salah satu universitas paling top di Jepang, bahkan dunia, khususnya dalam hal sains. Tahukah Anda? Kementerian Pendidikan Jepang bahkan membiayai risetnya hingga 14 juta dollar AS (sekitar Rp144 miliar) per tahun.

Ken Soetanto juga menjadi salah satu dari tiga pemohon paten paling terkemuka di Jepang, yang telah mempublikasikan lebih dari 1100 karya ilmiahnya. Kini, ia menjabat sebagai guru besar School of International Liberal Studies di Universitas Waseda, guru besar di Toin University of Yokohama, Jepang, dan anggota Komite Evaluasi Tokyo Institute of Technology.

Prof Ken, ketika sedang berbagi kisah, ilmu, dan inspirasi, dalam seminar “Create Your Hoki/Success in Business and Career”, 20 Februari lalu di Jakarta.

Sebagaimana dialami oleh Albert Einstein yang pada waktu kecil benar-benar dianggap sebagai anak yang payah serta bodoh dalam semua mata pelajaran, kecuali matematika, tapi kemudian malah berhasil menjadi fisikawan terbesar Abad Dua Puluh. Begitu pula dengan kisah hidup Ken Soetanto, yang kini telah berhasil menemukan ergon-nya. Di mana karya-karyanya merupakan amal, dharma atau pelayanan bagi banyak orang, sebagaimana ia mimpikan sejak usia muda.

Sumber : http://www.andriewongso.com

Oleh: akusdinar | Desember 11, 2009

Hari Nusantara, Bangkitkan Paradigma Kelautan

Adanya kecenderungan semakin membesarnya peran ekonomi kelautan (marine economy) dalam pembangunan nasional maka diperlukan sebuah agenda besar kebijakan bidang kelautan untuk membangun pemahaman bahwa Indonesia adalah negara kepulauan bercirikan nusantara. Posisi Indonesia yang diapit dua benua dan dua lautan menjadikan posisi Indonesia sangat strategis baik dari segi geopolitik maupun geoekonomi. Wilayah laut Indonesia mencapai 75,3% dari total luas wilayah Indonesia dengan potensi laut yang belum digali secara optimal, serta dilintasi kapal niaga dari berbagai penjuru dunia. Adalah tepat, apabila sudah saatnya kita harus berpaling ke laut karena masa depan kita berada di laut. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad yang juga Ketua Harian Dewan Kelautan Indonesia pada puncak peringatan Hari Nusantara di Centerpoint of Indonesia, Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan (9/12). Baca Selengkapnya..

Oleh: akusdinar | Desember 11, 2009

Sambut Hari Guru, Microsoft Bloggership 2010 Dibuka

Bertepatan dengan Hari Guru Nasional, 25 November 2009, Microsoft Indonesia kembali meluncurkan Microsoft Bloggership 2010. Para blogger alias narablog diundang untuk memberikan opini, saran, dan masukan mengenai bagaimana para guru, tenaga pendidik dan pengajar, serta institusi pendidikan dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk menghadirkan suasana belajar-mengajar yang lebih hidup, dinamis, dan kreatif. Baca Selengkapnya..

Oleh: akusdinar | November 30, 2009

Syahbandar Perikanan Kawal Catch Sertification

Siaran Pers No. B.117/PDSI/HM.310/XI/2009

Menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil ikan terbesar di dunia pada tahun 2015 bukanlah hal yang mustahil dicapai untuk 5 tahun kedepan. Salah satu upaya mewujudkannya, kita harus tegas terhadap para pelaku IUU fishing (illegal, unregulated, unreported fishing). Praktek IUU fishing harus dicegah melalui kinerja pengawasan.  Ini dimulai dari pelabuhan, yaitu melalui peran syahbandar pelabuhan perikanan dalam menerbitkan SIB dan catch sertification. Baca Selengkapnya..

« Newer Posts - Older Posts »

Kategori